17 Des 2015

Gadis Pantai (Sebuah Roman dari Pramoedya Ananta Toer)


credit pic : goodreads.com
(buku aku hilang di temen, jadi terpaksa ngambil dari web)

Penerbit         : Lentera Dipantara, Jakarta
Terbit tahun   : 2003
Jumlah halaman : 272 
ISBN : 979-97312-8-5


"Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini. Seganas- ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi. Ah, tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan."

- Gadis Pantai, hlm. 268 -

Tersebutlah seorang gadis di kampung nelayan di pantai Karesidenan Jepara - Rembang yang secara mendadak diperistri oleh pembesar santri. Priyayi itu dikenal sebagai orang Jawa yang bekerja pada bagian administrasi Belanda. 

Dipaksa menikah pada usia empat belas tahun dengan orang yang dipanggil Bendoro. Bukan istri sungguhan, melainkan "gundik" : perempuan yang melayani kebutuhan seks pembesar sampai kemudian pembesar tersebut memutuskan menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya.

Lika-liku perjalanan batin dan kehidupan yang dirasakannya terangkum dalam roman ini. Sisi lain feodalisme yang begitu keji pada masa kejayaannya.

Tokoh dan Penokohan

1. Gadis Pantai

Usianya baru empat belas tahun, dipaksa oleh orang tuanya menjadi istri seorang priyayi ambtenaar. Karena memiliki paras yang ayu, maka dia terpilih sebagai calon istri orang yang disebut-sebut sebagai Bendoro. Di dalam cerita, tidak dijabarkan siapa nama lengkap gadis pantai. Kemungkinan Opa Pramoedya sengaja membiarkan si gadis ini tanpa nama untuk membiarkan kita gak terlalu terpaku dengan embel-embel nama.

Pada awalnya dia menolak, tapi apalah artinya anak kecil dibanding kekuasaan sang Bendoro. Tinggal selama dua tahun sebagai gundik bergelar Mas Nganten. Boleh memerintahkan apa saja di rumah besar itu kecuali mengusik atau bertanya apapun yang bukan urusannya. Pada dasarnya Gadis Pantai adalah gadis yang polos, cukup cerdas, sangat perasa /sensitif, dan memiliki empati yang cukup besar pada sesama. 

Semenjak tinggal di rumah Bendoro -suaminya- dia makin tidak kerasan. Bayangan pantai selalu dirasakannya sehingga membuat dia selalu ingin pulang. Memang pada akhirnya dia juga akan dibuang oleh Bendoro setelah melahirkan anak pertamanya. Pada akhir cerita (yang belum selesai ini), dia memutuskan untuk pergi dari Jepara menuju Blora. Gak kembali ke kampung nelayan.

ilustrasi Gadis Jawa pada tahun 1900-an.
Gambar diambil dari sini


2. Bendoro

Suami dari gadis pantai. Tokoh antagonis. Seorang priyayi-ambtenaar maksudnya orang Jawa yang bekerja pada bagian administrasi Belanda. Dia juga seorang pembesar santri yang dikenal sangat alim dan berpendidikan tinggi. Tubuh tinggi semampai, kulit kuning pucat, dan arogansi berlebihan . Di rumahnya, dia memelihara anak-anak hasil hubungannya dengan beberapa gundik sebelum Gadis Pantai. 

Dari berbagai dialog, terlihat jelas watak Bendoro sebagai penguasa yang otoriter. Semua harus atas ijinnya. Ketika seorang pembantu Mas Nganten suatu hari dinilai lancang padahal dia membela kebenaran, Bendoro lantas memperingatkan si pembantu dengan logika kaum feodal. Sopo siro, sopo ingsun. Maksudnya, siapa Anda kok berani-beraninya menghina bangsawan. Begitu kira-kira maknanya.

Di dalam cerita, kemunculannya selalu ditandai oleh 'suara selop'. Bunyi selop ini seketika membuat efek menakutkan di kepala aku. Padahal si Bendoro gak melakukan apa-apa. Dalam bayanganku, dia melintas dengan suara selopnya yang 'buutttt buuutttt'. Horor banget. 

3. Mbok

Bujang wanita (dalam cerita asisten pribadi disebut bujang) yang merawat Mas Nganten. Sangat menyayanginya seperti anak sendiri dan selalu mengingatkan Mas Nganten tentang keberadaannya yang hanya rakyat jelata meskipun saat ini dia menjadi istri Bendoro. Kehidupan Mbok juga diceritakan sangatlah nelangsa. 

Dipisahkan dari sang suami pada masa kerja rodi. Suami pertamanya meninggal ketika melawan mandor. Itu terjadi karena suaminya menolong Mbok yang hampir mati karena kelelahan bekerja. Waktu itu Mbok sedang mengandung. Sempat tak sadarkan diri, hampir menjadi gila melihat suaminya tergeletak mati dan janinnya keguguran.

Pindah ke kota, lantas menikah lagi dengan seorang kusir di rumah Bendoro. Tinggal sangat lama di rumah itu dan menjadi bujang wanita senior. Itupun bukan jaminan bahwa dia tidak akan dipecat. Sampai suatu masa, dia melakukan sedikit kesalahan ketika membela Mas Nganten. Diusir dari rumah Bendoro, dan tidak diketahui keberedaannya lagi sepanjang cerita.

4. Bapak

Ayah dari gadis pantai. Sebetulnya dia sedih ketika anak gadisnya dipinang Bendoro. Dia menghindari anaknya sewaktu Gadis Pantai pulang ke rumah --kampung nelayan-- untuk kunjungan singkat. Menurutnya, sang anak seharusnya sudah hidup saja bergelimang harta di kota tidak perlulah kembali lagi ke kampung asalnya. Wataknya keras khas nelayan dengan penampilan yang juga mendukung sehingga cukup disegani di kampung. Namun nyalinya mendadak ciut jika berhadapan dengan Bendoro, padahal lautan saja sanggup diterjangnya.

5. Emak

Ibu dari gadis pantai. Tipikal istri yang menurut apa saja yang dikatakan suaminya. Seringkali terlihat murung dan melankolis. Kadangkala suka membentak Gadis Pantai namun sebenarnya sangat sayang pada anaknya itu. Menghindari Gadis Pantai karena takut tidak sepadan lagi dengan anaknya yang sudah jadi istri pembesar.

6. Mardinah

Salah satu utusan dari Bendoro Putri di daerah Demak. Anak dari seorang juru tulis dan dari keluarga yang cukup berpendidikan dan terpandang membuat Mardinah cukup congkak. Dia disuruh untuk menjaga Mas Nganten setelah Mbok diusir. Keberadaannya di rumah Bendoro juga mencurigakan. Setelah didesak beramai-ramai oleh warga kampung nelayan, barulah mengaku jika diutus untuk mengganggu hubungan Mas Nganten dan Bendoro. Dia dijanjikan untuk menjadi istri kelima Bendoro di Demak jika mampu membunuh Mas Nganten.

Nasib Mardinah berakhir di tangan Dul, si pendongeng. Bukan, bukan mati. Hanya saja spoiler sedang tidak berlaku di sini. Hehe...

7. Dul

Si pendongeng dari kampung nelayan. Lagaknya mirip orang gila tapi dia ini macam punya sixth sense atau sejenis clairvoyance. Tiap kali mendongeng selelu membunyikan rebana. Tidak dianggap di kampung nelayan, tapi mendapat banyak perhatian ketika sedang show up mendongeng.

Perannya makin besar ketika Mardinah datang. Jadi satu-satunya orang yang dimintai pertolongan di kampung nelayan ketika terjadi tragedi.

8. Mardikun

Kakak Mardinah yang nasibnya apes. Diarak beramai-ramai lantas diceburkan ke laut sampai kehabisan napas. Dikira mata-mata dari Demak karena menyamar sebagai Mak Pin --dukun pijat wanita--. Ketahuan ketika mencoba memijat Gadis Pantai yang sedang berkunjung ke kampung nelayan.


Deduksi dari Sandyaljepit :

Fiuhh... hayati terpukau baca cerita ini. Selain diombang-ambingkan oleh alur dan dialog yang cerdas banget, masalah diksi juga ikut menyumbang keterpukauanku.

Tiap kali sampai pada dialog antara Bendoro dan Gadis Pantai, selalu muncullah, "Sahaya, Bendoro". Si Bendoro bilang A yang panjangnya sampai C diakhiri dengan "Sahaya, Bendoro" oleh Gadis Pantai.
Si Bendoro bilang B yang panjangnya bisa sampai Y bisa saja diakhiri dengan puji-pujian atas keselamatan dan berkah yang dilimpahkan oleh Bendoro. Tak lupa diakhiri "Sahaya, Bendoro".
Aku lama-kelamaan membacanya sampai kecele begini, "Sandya, Bendoro". Astaga!

Membaca cerita ini juga makin membuat aku bersyukur gak dilahirkan di jaman penjajahan Belanda. Aku yang anak kekinian begini mana sanggup hidup serba kaku, otoriter, dan apa-apanya serba manut. Hehehe...

Penggambaran tokohnya juga sangat natural. Gak ada pemborosan kata demi deskripsi tokoh. Sepengalaman aku bikin cerpen, kadang-kadang aku menggambarkan tokohnya terlalu rinci dan kebanyakan diksi. Aku takut pembaca gak memahami bahwa tokoh yang lagi aku perkenalkan tuh begini begini. Niat aku bagus, tapi eksekusinya malah jadi bikin boring pembaca.

Kalo Opa Pramoedya beda, dia cukup mendefinisikan cuma dengan dua - tiga kata aja. Tapi aku, sebagai pembaca udah ngeh banget tentang ciri-ciri fisik tokohnya. Dan ingatan itu terus tertanam sampai akhir cerita. Dewa banget khan!

Masalah penindasan terhadap hak- hak perempuan juga menjadi isu utama dalam cerita ini. Opa Pramoedya berhasil menggambarkan dengan jeli bagaimana hidup seorang perempuan jaman dahulu yang diumpamakan sebagai barang dagangan dan aktivitas sosial-budaya pada masa itu sekitar tahun 1800 - 1900.

Keburukan feodalisme yang menganggap orang dari segi kapabilitas dan kompetensinya. Pokoknya asalkan asal-usul nya jelas dan memiliki derajat kebangsawanan patut disegani. Orang feodal juga memiliki mental 'ndoro'. Mentalitas 'ndoro' itu selalu ingin dilayani dan tak ingin melayani. Apakah ini kelihatan mirip dengan orang yang kamu kenal? 

Kisah ini ditulis dan dipersembahkan Opa Pramoedya untuk neneknya dari pihak ibu --dalam prakata yang ditulis oleh Pramoedya sendiri aku menduga-duga sepertinya imajinasi tentang gadis Pantai ini berasal dari neneknya-- yang sudah meninggal dunia ketika Pramoedya merantau ke Jakarta.

Sesungguhnya kisah ini adalah sebuah trilogi. Gadis Pantai merupakan jilid pertama dan apa kamu tahu kalau dua jilid lanjutannya sebenarnya sudah rampung ditulis. Namun karena vandalisme rejim Orde Baru, dua buku lanjutannya diberangus tanpa sisa dan tanpa ada backup dan segala macam karyanya musnah begitu saja. Ya Alloh, eman-eman temen
Selengkapnya bisa dibaca di [link] spoiler di [link2] [link3] [link4].

Cerita ini bagus, bagus banget malahan kalau gak bisa dibilang super duper bikin geregetan pengin baca lanjutannya. Kamu sudah baca? Kalo iya, sharing dong dimari.



4 komentar:

  1. ini bagusss bukunyahhh....

    Ihh, ikutan eikeh bikin review...

    emang bener, gadis pantai dalam buku itu adalah neneknya pramoedya. anak perempuan gadis pantai ya ibunya di pramoedya sendiri. coba ada lanjutannya yah, pasti seru. sayang gak ditulis ulang

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang bagus, hiks sayang gak ada sekuelnya. Aku penasaran banget coba, kamu tanyain gih Za ke Pramoedya lanjutannya gimanah.

      Hapus
    2. san, itu foto gadis jawa kok mirip oki yah, hahahaha

      Hapus
  2. Mungkin saya telat untuk ikut masuk ke kolom komentar. tapi, reaksi pada buku 'Gadis Pantai' benar-benar merobohkan sudut pandang soal cinta. aku ingin kita berbagi komentar, sila baca review buku versi saya di site saya. regard, Muhsin Ibnu Zuhri

    BalasHapus

Sila tinggalkan jejak di sini. Cuap-cuap asal gak mengandung SARA juga diperbolehkan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...