20 Sep 2010

Sunyi di Senja ini




Aku terduduk dalam kegamangan panjang. Senja kali ini tidak semenarik dulu ataupun kemarin. Langit barat yang melembayung sama sekali tidak membuatku kagum. Tidak seperti kemarin. Bahkan geliat pohon dewandaru di halaman depan juga tak kurespon. Entahlah. Padahal biasanya, aku selalu meluangkan waktu hanya untuk menikmati keindahan senja ciptaan Sang Khalik. 



Ketertarikanku pada suasana senja dimulai saat umurku menginjak 15 tahun. Aku lalu terbiasa memandangi lukisan alam yang terbentang di kanvas langit sembari mereguk manisnya teh ‘gopek’ buatanku sendiri di teras. Merenung. Memperhatikan dewandaru yang walaupun setiap hari kehilangan lembar demi lembar daunnya, namun tetap anggun dipandang. 

Tertawa lepas ketika menyaksikan beberapa pohon pisang bergerak-gerak tertiup angin. Pikirku itu seperti tarian gambyong ngawur milik temanku waktu SD, Nur. Lalu bersorak keras ketika bermacam-macam burung terbang melintasi atap. Terkadang, satu atau dua pasang burung serwiti menerobos di sela-sela antara atap dan tiang penyangga. Ternyata keluarga kecil itu menjadikan rumahku sebagai sarangnya. Beberapa kelelawar juga tak ketinggalan berunjuk gigi, seakan-akan senja adalah saat dimana kekuasaanya dimulai. Lalu dalam sekelebat, hiruk-pikuk yang tadi tercipta luruh dengan sendirinya tatkala awan kejinggaan tenggelam berganti awan hitam. Elok. Bahkan keindahan lukisan Basuki Abdullah atau Pablo Picasso pun tak mampu menandinginya.


Dan aku. Begitu tertarik dan menyukai senja. Selalu dan tak pernah bosan menjamah senja. Bahkan tak kupedulikan sama sekali perkataan nenek yang selalu mengingatkan agar aku tak terlalu lama berdiam di luar kala senja.

Kata beliau dalam bahasa Jawa yang ngapak,”...eeeh, ayo mlebu cah ayu. Ora ilok bocah wadon maghrib-maghrib magrok nang njaba. Mbok dadi perawan tua.”

Ya. Kepercayaan orang jaman dulu yang intinya, anak gadis yang terlalu lama berada di luar rumah menjelang maghrib katanya akan menjadi perawan tua. Dia pikir mungkin aku akan takut lalu mematuhinya. Tapi ah, kubiarkan saja nenekkku kalau sudah bicara begitu. Mitos yang kebablasan. Tidak ilmiah. Jadul kalau kataku. Lalu aku kembali asyik bercengkerama dengan senja. Tak ada yang bisa mengalihkan perhatianku dari senja.


Sampai aku bertemu dengan senja yang lain. Masih lekat dalam ingatan bagaimana dengan gilanya aku jatuh cinta pada Senja. Masih terbayang dengan jelas bagaimana awal pertemuanku dengannya. Tanggal tiga bulan juni, lima tahun yang lalu. Pukul 14.30 WIB. Nah, bahkan detik saat aku bertemu Senja masih saja ku ingat. Sebenarnya itu hanya pertemuan tidak sengaja antara kawan lama yang sudah sekian tahun tidak berjumpa.
Ya. Namanya memang Senja. Lebih tepatnya SENJA PRAKASIWI. Kawan semasa SMP yang memori tentangnya dulu hampir tak pernah mampir ke otak.

Ketika itu, aku sedang bersiap-siap untuk pulang seusai bertemu narasumber di sebuah cafe. Tiba-tiba seseorang mencolek bahuku dari belakang. Refleks, kubalikkan badan. Dan aku menemui sosok itu. Seorang pria seusiaku yang dengan santainya menyapa,
Hai, Sunyi. Apa kabar?”

Aku yang telmi lantas hanya mengerutkan dahi saja. Tak tahu siapa gerangan mahluk ini.
Secara sigap, otakku kemudian dengan cekatan mengobrak-abrik arsip daftar nama beserta foto yang begitu panjang. DANG. Ketemu!!! S - E - N - J - A. Begitu otakku mengejanya.

Eh, Senja. Ya. Kabarku baik. Kau sendiri?”

“Beginilah. Makin gemuk saja.” katanya sambil tertawa.

Aku tertawa kecil,”Hahaha...gemuk ke atas ya.”

Sejak saat itu, kami mulai mengobrol secara intens. Walaupun toh kami jarang bertemu, hanya lewat telfon dan surat elektronik saja karena Senja meneruskan kuliah di luar negeri. Aku pun secara perlahan mulai tertarik dengannya. Tertarik dengan pemikiran cerdasnya yang hampir menyamai Socrates , filsuf asal Yunani yang ku kagumi. Gemas dengan sikap impulsifnya. Suka dengan cara pandangnya terhadap dunia dan kehidupan di dalamnya. Dia, dengan caranya sendiri berhasil membuat aku, ya.. jatuh cinta. Oh, amore...

Sedikit demi sedikit aku mulai tahu beberapa hal tentangnya. Ketertarikannya terhadap dunia aviasi, obsesinya terhadap teknologi, sampai ketidaksukaannya pada kupu-kupu. Namun, hanya satu yang tak kuketahui. Perasaannya padaku. Tapi toh tak pernah kupertanyakan jua hal itu padanya karena takut merusak hubungan pertemanan kami. Dan juga karena aku bukan tipe wanita yang bisa secara gamblang dan menye-menye bilang cinta. Lagipula aku tak peduli. Asalkan masih bisa mengobrol dengannya saja sudah cukup. Namun tak dipungkiri, aku berharap lebih.

Aku makin mengagumi senja. Ah, dua senja di hidupku. Hidup yang aneh. Aku tertawa geli ketika langit senja yang setiap hari kulihat dengan isengnya memunculkan ilusi Senja. Makin liar imajinasiku tentang Senja. Sampai-sampai aku bermimpi memandangi senja di pinggir kali Serayu bersama Senja. Sunyi dan Senja. Bagai cerita Galih dan Ratna. Atau Pak Habibie dan Bu Ainun . Cih, lebay. Mimpiku terus saja mengeksplor Senja habis-habisan. Aku semakin gila. Aku schizophrenia.


Namun sore ini, senjaku sunyi. Semua itu berawal dari teleponnya pagi tadi. Aku baru saja menuntaskan ibadah subuh ketika tiba-tiba E72 ku berdering. Di layar tertera “Senjaku”....

Halo...Bisa berbicara dengan Akiva Sunyi Rosnina?” terdengar suara seorang pria yang sangat kukenal.

Hahaha...aku tertawa dalam hati. Pria ini. Dengan lengkapnya dia memanggil namaku.
Lalu kubalas saja dia,”Ah, ya. Ada apa Tuan Senja Prakasiwi subuh-subuh begini menelpon saya? Sudah mau pulang tho?”

Dia menjawab dengan mantap, “Ya, Sunyi.” Aih, tebakanku benar. “Aku sudah di Indonesia. Kita ketemu di tempat biasa ya. Jam empat. Sore ini. Aku mau kamu tahu sesuatu.”

Kalimatnya yang terakhir membuatku tercekat. Otakku berspekulasi mencari apa maksud rentetan kata yang disebutnya itu. Aku diam. Tak munafik, aku bahagia. Entah karena kalimat itu, entah karena hari ini untuk ketiga kalinya aku bertemu dengan Senja lagi, atau karena rinduku akhirnya terbalas. Aku tidak tahu. Yang jelas, aku bahagia. Titik. Tanpa tetekbengek lainnya. Lalu kujawab saja, “Ya. Aku akan datang.”

Untuk pertama kalinya selama sepuluh tahun, aku membenci senja. Tak lagi kuperhatikan awan keperakan yang menggelayut di ufuk. Tak lagi kunikmati temaramnya warna terakota dan jingga yang bercampur baur. Semburat kemerahan itu tak lagi mempesonaku. Dewandaru, pohon pisang, burung serwiti, kelelawar. Ah, kubuang semua kegairahan ku itu. Tak ada lagi yang menarik dari senja. Aku jengah.

Kulirik Guess di pergelangan tangan kiriku. Hey, 16.05. Sudah 15 menit aku menunggu kemunculannya. Ngaret. Kebiasaan buruk orang Indonesia. Tak bisa kubayangkan kalau semua orang begitu. Konyol sekali. Selagi aku asik berselancar dengan pemikiranku sendiri, tahu-tahu dia sudah ada di depanku.

Ehem..sudah lama menunggu rupanya. Maaf, aku terlambat.” Dia berbicara sambil menarik kursi yang ada di depanku.

Aku terkesiap. Gugup. Hampir saja kucubit lengan untuk membuktikan kalau aku tidak 

bermimpi. Memang Senja. Ah, lima tahun sudah tak bertemu. Pria ini masih seperti dulu..

Tak apa kok. Hanya saja, lima belas menit itu sebanding dengan harga martabak dan es timun ini.” Aku menyeringai.

Senja tertawa. “Hahaha..sudah kuduga. Kamu gak berubah. Tenang saja, semua pesanan Neng sudah Abang bayar di muka.” Kami berdua tertawa gelak.

Sebentar kemudian, raut muka Senja berubah. Ada yang dia sembunyikan di balik tangan kirinya. Entah apa tapi aku tak mau tahu. Aku sedang bahagia.

Ehm.. begini. Aku mau memberimu ini.” Hati-hati dia menyodorkan ‘sesuatu’ yang sedari tadi disembunyikannya. Benda itu. Segiempat. Biru tua. Nampak seperti amplop. Makin jelas. Dan perasaan aneh menyemburat keluar dari pikiranku. Aku mulai bersuudzon. Aku mulai membatin. Jangan lakukan itu padaku. Tapi Senja terus menyodorkannya sampai berada tepat di tengah meja kami berdua.

“Apa ini?” dengan bodohnya aku bertanya.

“Bacalah. Maka kau akan mengerti.” pintanya.

Tak perlu menunggu lama, bahkan seorang disleksia pun tanpa disuruh membacanya sudah pasti tahu apa isi kertas bersampul biru itu. Kulirik sekilas.

Aku dengan kaku mengambil barang yang tadi disodorkannya. Tidak kubaca. Kumasukkan saja langsung ke dalam tas. Tampak kekagetan di raut muka Senja. Hanya sebentar. Karena kemudian dia menggumam, “Kau tahu Sunyi. Sebenarnya...uhm..” Dia berhenti sejenak. Menggaruk kepalanya. “...sebenarnya sulit sekali untuk menyampaikan ini. Tapi aku harus. Aku ingin sahabatku mengetahui berita pernikahan ini dari mulutku sendiri. Aku harap kau tak marah.”

Bodoh! Jangan diteruskan lagi! Sontak amarahku luber. Wanita mana yang tak akan sakit hati jika diperlakukan seperti ini. Tak tahukah kau kalau ini menyakitkan. Benar apa yang orang bilang bahwa ‘Ignorance is a bliss’. Perasaan bahagiaku surut. Lebih baik aku tidak tahu semua ini. Separuh kepalaku seperti mati rasa. Kebas. Ingin rasanya menyiram satu ember penuh air raksa ke depan mukanya. Sayang, hal itu tak bisa kulakukan. Yang kulakukan justru di luar nalar.

Tidak. Untuk apa marah. Aku malah bahagia. Akhirnya kau menikah juga. Kukira kau itu gay. Ngomong-ngomong calon istrimu pasti cantik.” Oh, bibirku...Lancang sekali. Berkhianat terhadap hati dan otak.

Haha...kau ini. Ada-ada saja. Kau pikir aku penyuka sesama jenis, hah. Ya. Dia cantik. Seperti dirimu. Dia seorang dokter. Berjilbab. Muslimah yang solehah. Dan...” Bla bla bla. 


Ayo teruslah. Terus saja puji dia. Omongannya kali ini bagai dialog kosong yang hanya terdengar seperti lolongan anjing bagiku. Sejurus kemudian, rasa kagumku selama ini padanya menguap sudah. Betapa dungunya orang yang mengaku lulusan Universitas Illinois ini. Betapa tak pekanya orang yang pernah kupuja-puja sampai setengah mati ini. Tak pernah belajar mengerti wanitakah dia. Bahkan kalaulah diadu dengan remaja alay jaman sekarang, kujamin dia akan kalah. Lihatlah wanita di depanmu ini. Sudah hampir meleleh dia tapi kau masih terus mengoceh tentang betapa sempurnanya kepribadian wanita lain. Maka demi kebaikan semua, kuhentikan percakapan maut itu.

Maaf, Senja. Sepertinya aku tak bisa berlama-lama lagi disini. Aku harus bersiap-siap. Karena lusa, aku harus ke Paris...uhm..entah sampai kapan.” Aku mengarang alasan.

Dan sepertinya juga aku tak bisa hadir di pernikahanmu. Oke, aku duluan ya.”

Cepat-cepat kuambil tasku. Aku tak mau memberinya kesempatan bertanya lagi. Senja hanya terdiam saja. Kaget mungkin karena responku yang mendadak dingin. Sebelum pergi, kuucapkan selamat atas pernikahannya. Ucapan basa-basi. Tidak tulus. Ketika hendak beranjak dari kursi, tiba-tiba Senja menggenggam tanganku, “Terima kasih untuk semua perhatianmu selama ini, Sunyi. Terima kasih untuk segalanya.”

Aku yang sudah kehilangan respek dengannya, lantas acuh saja. Kutarik paksa tanganku dari genggamannya dan berkata agak nyelekit.

Sudah. Simpan saja terima kasihmu. Simpan untuk calon istrimu. Aku tak butuh. Anggap saja selama ini aku beramal. Jangan ucapkan terima kasih kepada wanita tolol yang sudah menyia-nyiakan waktunya menunggu selama lima tahun hanya untuk pria yang ternyata tidak menganggapnya sama sekali. Sudahlah. Aku pergi dulu.”
Setelah itu, setengah berlari kulangkahkan kakiku menuju tempat parkir. Kulihat tadi wajahnya tercengang. Hampir melongo mungkin. Bodo amat. Yang penting aku puas.


Sunyi di senja ini. Hanya bayang-bayang burung gagak yang terbang rendah di sekitar rumahku. Aku tergugu dalam kesepian. Tidak ada lelehan air mata. Tidak juga bahagia. 

Kubuka lagi lipatan kertas berwarna biru tua itu. Lamat-lamat kubaca deretan huruf yang menghiasi sekujur Undangan Pernikahan yang kupegang di tangan kiriku. Disitu terpampang dengan jelas foto Senja dan...wanita cantik berbalut busana muslim bernuansa biru juga. Andira Mestika. Begitu yang tertulis. 


Dia dokter dan aku jurnalis amatir. Jelas beda. Jauh malah. Kalaupun harus dihitung secara matematis, perbandingannya hampir sepuluh pangkat enam. Aku kalah telak. Dari kacamata sosiologi ataupun psikologi. Aku ibarat si psycho dan dia si normal. Jelas, kenapa Senja lebih memilihnya. 


Aku lalu tertawa. Tertawa sangat keras. Pohon Dewandaru depan rumah jelas terkaget-kaget mendengar tawaku. Beberapa daunnya jatuh terbujur kaku di tanah. Meranggas. Betapa selama ini aku begitu dibodohi oleh pikiranku sendiri. Aku lumpuh. Cih. Kubuka inbox di handphone ku. Demi melihat sebuah pesan dari Senja. Dia mengirimkan permintaan maaf. Tidak jelas juga maaf untuk apa. Barangkali dia baru sadar dan mengakui kedunguannya. Terlambat, bung! Tanpa pikir panjang, kuhapus saja seluruh 1.036 pesan yang tersimpan berikut e-mail darinya yang dulu kugadang-gadang sebagai ramuan cinta. Ok, delete all.

Tiba-tiba, “Bocah ayu...mlebu nduk. Ora ilok sore-sore nang njaba bae.” Kutolehkan kepala ke arah datangnya suara. Seorang perempuan mengenakan jarit yang tadi menegurku dan menyentakku dari lamunan ternyata masih perempuan yang sama. Nenek.

Kukedipkan mata demi mendengar seruannya barusan. Aku tersenyum. Dan dalam sekejap, aku menurutinya. Kurasa nenekku benar tentang yang satu ini. Bukan tentang perawan tuanya, tapi senja memang membuatku kehilangan akal. Kuputuskan untuk tak berdiam lagi di tempat ini. Tak lagi memandangi senja. Biarlah untuk kali ini senjaku berlalu tanpa binar-binar kegembiraan dan sorak-sorai suaraku. Keputusanku sudah mantap. Menerima pekerjaan sebagai peliput acara Paris Fashion Week. Meneruskan karir. Yah, siapa tahu di Paris aku menemukan senja dalam metamorfosa yang lain. Siapa tahu. Pelan-pelan, kututup pintu ruang depan. Sayup-sayup terdengar derit engsel pintu yang tak pernah tersentuh pelumas dan sandal jepit yang diseret. Di luar, senja masih mengiblatkan perak cahayanya.



2 komentar:

Sila tinggalkan jejak di sini. Cuap-cuap asal gak mengandung SARA juga diperbolehkan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...