25 Mei 2012

Masalahnya Tuhan yang Salah



“Cukupkah cinta jadi alasan seseorang menikah?”


Mahesa mengajukan pertanyaan pada Di yang sedang mengaduk kopi instan di sebelahnya. Ketika Di menyudahi adukan pada kopinya, aroma kopi menyeruak begitu saja. Kali ini, menanggapi pertanyaan Mahesa, Di hanya diam saja. Tak bersuara, menggeleng ataupun mengangguk seperti hari-hari biasanya saat mereka berdiskusi bersama.

“Kenapa diam? Kamu bukan emas kan Di?" gertak Mahesa.

Lagi-lagi Di tidak menjawab. Mendongak sebentar memperhatikan ekspresi Mahesa yang berubah garang lalu kembali  melanjutkan aktivitas menyeruput kopinya yang masih panas secara biadab. Tanpa peduli bahwa kata-katanya sedang ditunggu oleh Mahesa yang sudah menganggapnya sebagai teman akrab.

Di luar malam begitu hitam pekat. Angin basah berkesiur menggebrak jendela berteralis ketat. Mahesa tidak juga merasa yakin bahwa perasaannya tetap tenang dan bersemangat. 

Di cermin ia menatap wajahnya yang perlahan pucat menegang dan kerut-merut kulit wajahnya yang makin mengeras. Wajah yang memeperlihatkan keinginan yang tak pernah tuntas. Ia seperti  melihat penggalan-penggalan peristiwa dengan banyak cerita yang kadang-kadang sulit dimengerti oleh pilirannya yang bebas. Mahesa lantas menghembuskan nafas seakan ingin semua yang telah dilakukannya hilang terlepas. Apa sebenarnya yang aku inginkan dari semua kejadian yang datang menderas?

Mahesa terbiasa untuk berpikir rasional. Ia sudah terlatih untuk tidak sentimentil dan selalu mengandalkan akal. Ia sudah piawai bagaimana menekan perasaan kewanitaannya demi menghindari kesalahan fatal.

Apa saja yang sudah kulakukan untuk hidup yang runyam ini? Tiba-tiba pertanyaan itu memercik dari dalam kepalanya hendak menuju hati. Percikan yang semakin lama terasa semakin besar dan membuat kepalanya berdenyut nyeri. 

Ya, hidup macam apa yang telah kujalani ini? Mahesa menatap Di seperti mencari jawaban di sana. Tapi Di masih saja mematung dan tak kunjung memberi tanda. Mahesa mendesah. Masih terngiang ucapan lelaki itu entah pada beberapa malam yang sudah-sudah.

“Dasar pelacur! Pergilah sesukamu dan jangan pernah kembali.”

Ia merasa heran kenapa lelaki itu merasa punya hak untuk mengatur hidupnya hanya karena dia telah menikahinya, Pernikahan yang dulu disangkanya akan dapat memberikan perlindungan bagi kebebasannya justru sangkar yang telah menjeratnya demi nama aturan dan cinta. Untuk apa lembaga pernikahan itu?

“Siapakah yang salah?”, batin Mahesa mendesah. Lantas melirik Di yang saat ini tengah asyik menyalakan rokok, menyedot, dan menghembuskan asapnya tanpa arah. Betapa enaknya hidup bila dapat menghembuskan asap rokok seperti menghembuskan masalah.

Dulu sebelum lelaki itu menikahinya, Mahesa sudah mengajukan beberapa persyaratan. Lelaki itu sepakat akan mematuhi aturan. Orang tuanya pun tidak banyak melawan. Tapi kini semuanya seperti khayalan.

Di luar angin tak bersuara. Ia seperti bergerak mengendap, berjingkat hendak meninggalkan malam yang meraja. Mahesa bangkit dan menutup jendela. Jam menunjukkan angka dua. Di masih setia duduk bersama kepulan asap rokok dan tetap terjaga. Ya, Di, perempuan cerdas yang sejak SMA dulu sudah dikaguminya.

“Apakah selama ini aku telah salah memaknai hidup, Di? Benar dan salah dimanakah batasnya? Betapa ruwetnya hidup ini bila harus selalu dibatasi dengan benar dan salah. Astaga! Sialan betul hidup kalau begitu.”

Dari dulu sebenarnya Mahesa tidak pernah berniat untuk menikah. Baginya menikah sama saja dengan menyerahkan kebebasannya pada aturan yang tidak rasional, diskriminatif, dan setumpuk musibah. Dia tidak percaya bahwa pernikahan sebagai satu-satunya cara menjalani kehidupan untuk meraih berkah. Namun begitulah, dia juga tidak percaya kenapa kemudian dirinya harus menikah. 

Semuanya seperti begitu saja berlangsung. Begitu cepat, begitu tak terkendali sampai membuatnya bingung. Sampai tiba-tiba dia mendapati dirinya sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk pada sejumlah aturan. Harus bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan untuk suami, meracik kopi, mencuci, belanja ke pasar, tawar-menawar dengan penjual sayuran, menyapu halaman, mengepel lantai, menyiram tanaman, bila malam melayani suami di ranjang, serta wejangan-wejangan?

“Perempuan itu harus pintar masak. Harus pandai dandan, menjaga badan. Tidak boleh bangun kesiangan, tidak boleh urakan, tidak boleh melawan, tidak boleh…”

Mahesa menghempaskan tubuhnya ke ranjang, memandang langit-langit. Di sana ia seakan mencari jalan hidup mana yang harus ditempuhnya sedikit demi sedikit. Tapi semuanya gelap dan sukar dikuntit. Ia bangkit. Malam kian melantunkan kesunyian yang semu. Suara katak yang berirama di luar terdengar sangat merdu bagai datang masa lalu. Merdu namun menggiris pilu.

Dua malam lalu, ia lihat suaminya berkhianat. Suaminya bilang seminggu ini ia akan pulang larut karena rapat. Awalnya dia percaya, namun apa yang yang dikatakan teman suaminya membuyarkan semua dengan singkat. Sampai akhirnya, bersama Di, Mahesa menguntit suaminya hingga berhenti di sebuah rumah mewah dua tingkat. Di sana suaminya sedang asyik bermaksiat dengan seorang wanita bejat. Mahesa tidak menangis, hanya menatap wajah suaminya dengan jijik lantas mengumpat, “Dasar laknat!”

“Di, akhirnya siapa yang salah? Aku yang mencoba setia pada lelaki itu atau dia yang sudah menggadaikan kepercayaan, kesetiaan, bahkan kebebasanku?”

Di perlahan mendekati Mahesa kemudian membelai rambutnya lantas mengecup dahi Mahesa.

“Sayangku, masalahnya bukan kamu atau dia yang bersalah.”

“Lalu siapa?”, Mahesa tercekat.

“Sudah kubilang dari dulu, jangan pernah percaya pada lelaki dan juga Tuhan. Hidup memang penuh jebakan. Tidakkah kamu merasa begitu? Siapa menurutmu yang telah memasang jebakan-jebakan itu?”

Sambil menatap mata Mahesa, Di melanjutkan lagi,”Kepada Dia yang telah memberikan takdir padamu bahwa kamu harus jatuh cinta pada lelaki. Bukan pada jenis sesamamu. Percayalah Mahesa, masalahnya Tuhan-lah yang salah memberikan takdir.”

“Maksudmu?”

“Aku mencintai sahabat sebangkuku sejak SMA.”

Mahesa mengulum senyum. Ia bahagia karena setidaknya, kini setelah ia lepas dari suaminya, Mahesa tahu kalau cintanya untuk Di tidak akan membuatnya menjadi pungguk merindukan bulan tetapi seperti buah delima yang ranum.




Purwokerto, 13 Oktober 2011

 (cerpen ini menjadi kontributor dalam antologi cerpen SALAH. Diterbitkan oleh NulisBuku.com)





sumber gambar :   http://3.bp.blogspot.com/




1 komentar:

Sila tinggalkan jejak di sini. Cuap-cuap asal gak mengandung SARA juga diperbolehkan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...