23 Jul 2011

Ayah Bukan Cuma Simbol

Seorang teman baru saja mengungkapkan perasaan kepada ayahnya lewat twitter. Begini katanya,


“Kenapa harus ada yang namanya ayah di dunia ini -_-“


Lalu saya yang kebetulan sempat membaca twitnya barusan, meng-RT (membalas twit sekaligus membagikan ke followers) dengan menambahkan komentar, “supaya ada yang namanya anak, jeng.”



Saya terhenyak sampai disini. Twitnya barusan menunjukkan bahwa dia mungkin sedang ada masalah dengan ayahnya. Saya sih tak mau tahu apa masalahnya. We know something, we don’t know far greater things. 
Tetapi  yang jadi masalah, berarti selama ini dia menganggap bahwa peran ayah hanyalah sebagai simbol saja. Tak ada refleksi peran seorang ayah yang dia rasakan. Kenapa dia harus berbicara seperti itu? Mengingat selama ini dia terlihat baik-baik saja.


Padahal saya sendiri, sebenarnya cukup iri dengannya. Dia masih memiliki seorang ayah yang selalu ada di sampingnya. Sedangkan saya,..oh, bukan! Bukannya saya tidak punya ayah. Saya punya. Ayah saya masih hidup, Alhamdulillah, namun beliau tidak pernah ada di sisi saya. Setidaknya selama 11 tahun ini.


Seorang ayah, apapun sebutannya, mau bapak, papa, papi, rama adalah sosok yang juga memegang peranan penting laiknya ibu kita. Though he just give 1% of his DNA, it means a lot. Coba bayangkan, kalau gak ada seorang ayah, gak akan ada kita. Jadi, betapapun  kecilnya peran beliau, tetaplah penting.


Seorang ayah pastilah ingin anaknya menjadi orang sukses. Seberapapun susah dan beratnya, beliau pasti akan mendukung cita-cita kita. Walaupun, dalam beberapa kasus, terkadang (seringkali malah) beliau tidak sependapat dengan kita. Tapi percayalah, beliau hanya menginginkan yang terbaik. Kalaupun kita ngotot ingin tetap mempertahankan pendapat, terangkanlah dengan cara yang baik, lembut, dan sopan. Insya Allah beliau akan mengerti.


Ayah macam apa yang tidak menyayangi anaknya? Tidak ada! Setiap lelaki normal yang memiliki kasih sayang pasti akan mencintai anaknya dengan cara mereka sendiri. Memang terkadang, beliau terlihat tak peduli. Tapi, batin orang siapa yang tau? Bisa jadi ayah kita ternyata adalah orang yang paling khawatir, paling resah, paling over protektif dibandingkan ibu kita sendiri. 


Siapa tahu, ayah kita adalah orang yang senantiasa dalam sujud dan solatnya selalu ingat dan mendoakan kita dengan sepenuh hati. Atau bisa jadi, beliaulah malah orang yang di setiap 1/3 malam terakhir menangis meminta kepada Tuhan agar anaknya diberikan kehidupan yang baik dan penuh berkah. Siapa tahu juga, doa-doa yang dipanjatkannya setiap hari itulah yang naik terangkat ke langit ketujuh.


Perhatikanlah ekspresi beliau ketika mengutarakan niat untuk melanjutkan sekolah ke luar kota. Pastilah ada gundah di pelupuk matanya yang terkesan acuh. Gundah. Antara memperbolehkan atau menolak keinginan kita. Kalau membolehkan, berarti beliau harus bersiap-siap terhadap segala kemungkinan yang terjadi berikutnya. Membolehkan, berarti beliau harus rela melepas sang anak menuju sebuah sirkus duniawi. Sedangkan menolak, berarti harus menanggung resiko diumpat sang  anak, mengacaukan impiannya, dan bahkan menghancurkan semangatnya. Bukankah itu dilematis?


When you say,”I don’t need you, Dad!” sebenarnya kamu sendiri sedang berusaha menyangkal bahwa sebenarnya kamu masih membutuhkan bantuan ayah. Jadi sebelum semua terlambat, cintailah ayahmu sepenuh hati.


Terakhir. Membaca postingan ini pasti kamu akan berkata nyelekit, “Loh, kok sandyaljepit bisa ngomong begini begitu tentang kasih sayang ayah sih? Padahal katanya gak pernah bertemu ayahnya sendiri.”


Menjawabnya saya hanya akan balik bertanya,”Apakah jarak akan menjadi halangan untuk bisa merasakan kasih sayang seorang ayah?”




2 komentar:

Sila tinggalkan jejak di sini. Cuap-cuap asal gak mengandung SARA juga diperbolehkan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...