6 Apr 2010

Kalau saya seorang PRIA


“Untung kamu perempuan,” begitu ibu saya pernah berkata. Semula saya tak tahu apa maksudnya. Maklum ketika itu jaman- jaman SD. Sebenarnya, saya justru iri pada pria. Menurut saya, boys have all the luck and fun! Mainan mereka macam – macam bentuknya. Dari mobil-mobilan sampai tembak-tembakan, dari kapal terbang sampai layangan. Sedangkan anak perempuan: Cuma boneka dan masak-masakan. Sia-sialah ibu saya waktu itu melarang saya main gundu bersama Eko, Rizki, Heru, dan Seto (teman masa kecil dulu).


Ketika waktu beranjak, saya mencari tahu maksud ibu saya dengan kalimatnya tadi. Ternyata dengan menjadi perempuan, saya punya hak istimewa untuk melepaskan isi hati tanpa harus menjaga gengsi pada siapapun. Sebagai perempuan, saya boleh menangis, tertawa, merajuk, manja. Tak ada yang melarang. Atau tepatnya tak boleh dilarang. Karena –konon- itu sepenuhnya hak wanita. Dengan menjadi perempuan, kita punya hak untuk tampak lemah dan berhak mendapatkan pertolongan.

Semua itu tak dimiliki oleh pria. Begitu ia lahir, langsung divonis tak boleh cengeng. Tak boleh menangis waktu jatuh. Tak boleh sedih saat ditinggal ibu ke pasar. Kalah main gundu? Lebih baik melayangkan tinju ketimbang menunjukkan kepedihan. Entah mengapa lelaki harus menerima nasib seburuk itu? Bisa jadi mereka tak mau mengaku kalau larangan menunjukkan perasaan itu sebuah malapetaka. Bisa jadi mereka menganggap itu hal biasa dan harus diterima. Dan hebatnya, di antara mereka pun ada semacam kode etik untuk mempertahankan ‘nilai emas’ ini.

Mengapa pria harus menjalani semua itu? Saya terus-menerus bertanya dalam hati. Ibu saya bilang, itu karena saya bukan laki-laki, jadi tak bisa merasakan gejolak laki-laki. Saya tak bisa menerima jawabannya ini. Bukankah lelaki manusia juga? Dan sebagai manusia ia pun diberi rasa oleh Penciptanya? Dalam hati saya merasa iba pada pria. Iba pada ketidakmampuannya mengeluarkan isi hati sebagaimana yang dirasakan oleh wanita.

Kalau dilahirkan sebagai lelaki, saya akan berusaha mati-matian mengubah cara pandang wanita terhadap pria. Saya ingin wanita melihat pria sebagai manusia biasa.
Saya ingin pria diijinkan menampakkan perasaannya yang sebenarnya terasa di hati. Saya ingin perasaan dibiarkan mengalir apa adanya. Bukan untuk menunjukkan kelemahan., tetapi untuk menjadikan pria manusia yang lebih baik, lebih sehat, dan lebih waras. Cukup sudah gaya sok kuat dan tahan banting terus-terusan walau telah diterpa badai masalah. Saya ingin bisa membiarkan emosi keluar dengan bebasnya.

Saya berharap, dengan membiarkan perasaan hati muncul, pasangan akan tahu bahwa saya bisa sakit hati oleh kata-katanya yang kurang pas. Dia juga bisa tahu kalau saya sangat menghargai pengorbanannya, cintanya yang tulus, dan perhatiannya yang tak putus. Dengan mengumbar perasaan pada tempat dan waktu yang tepat, saya akan berusaha membuat pasangan lebih memahami keinginan di hati. Bahwa saya ingin diperlakukan lebih lembut dan tak dibuat cemburu.

Kulit tubuh saya mungkin kasar, tetapi saya punya hati yang sama lembutnya dengan wanita. Saya ingin dia tahu bahwa otot dan tubuh saya yang kekar juga bisa terasa lelah setelah seharian menemaninya belanja. Saya ingin dianggap mampu mengerjakan urusan rumah tangga. Dari mencuci piring, menyapu lantai, dan mengganti popok si kecil. Saya ingin dianggap sebagai sahabat dekat, sedekat dia dengan teman wanitanya yang lain. Saya ingin meluapkan segala perasaan yang ada. Saya ingin. Ingin sekali. Seandainya saya pria. Seandainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sila tinggalkan jejak di sini. Cuap-cuap asal gak mengandung SARA juga diperbolehkan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...