“Cukupkah cinta jadi alasan seseorang menikah?”
Mahesa mengajukan pertanyaan pada Di yang sedang mengaduk kopi instan di sebelahnya. Ketika Di menyudahi adukan pada kopinya, aroma kopi menyeruak begitu saja. Kali ini, menanggapi pertanyaan Mahesa, Di hanya diam saja. Tak bersuara, menggeleng ataupun mengangguk seperti hari-hari biasanya saat mereka berdiskusi bersama.
“Kenapa diam? Kamu bukan emas kan Di?" gertak
Mahesa.
Lagi-lagi Di tidak menjawab. Mendongak sebentar
memperhatikan ekspresi Mahesa yang berubah garang lalu kembali melanjutkan aktivitas menyeruput kopinya yang
masih panas secara biadab. Tanpa peduli bahwa kata-katanya sedang ditunggu oleh
Mahesa yang sudah menganggapnya sebagai teman akrab.
Di luar malam begitu hitam pekat. Angin basah
berkesiur menggebrak jendela berteralis ketat. Mahesa tidak juga merasa yakin
bahwa perasaannya tetap tenang dan bersemangat.
Di cermin ia menatap wajahnya yang
perlahan pucat menegang dan kerut-merut kulit wajahnya yang makin mengeras.
Wajah yang memeperlihatkan keinginan yang tak pernah tuntas. Ia seperti melihat penggalan-penggalan peristiwa dengan
banyak cerita yang kadang-kadang sulit dimengerti oleh pilirannya yang bebas.
Mahesa lantas menghembuskan nafas seakan ingin semua yang telah dilakukannya
hilang terlepas. Apa sebenarnya yang aku inginkan dari semua kejadian yang datang
menderas?
Mahesa terbiasa untuk berpikir rasional. Ia sudah
terlatih untuk tidak sentimentil dan selalu mengandalkan akal. Ia sudah piawai
bagaimana menekan perasaan kewanitaannya demi menghindari kesalahan fatal.
Apa saja yang sudah kulakukan untuk hidup yang runyam
ini? Tiba-tiba pertanyaan itu memercik dari dalam kepalanya hendak menuju hati.
Percikan yang semakin lama terasa semakin besar dan membuat kepalanya berdenyut
nyeri.
Ya, hidup macam apa yang telah kujalani ini? Mahesa menatap Di seperti
mencari jawaban di sana. Tapi Di masih saja mematung dan tak kunjung memberi
tanda. Mahesa mendesah. Masih terngiang ucapan lelaki itu entah pada beberapa
malam yang sudah-sudah.
“Dasar pelacur! Pergilah sesukamu dan jangan pernah
kembali.”
Ia merasa heran kenapa lelaki itu merasa punya hak
untuk mengatur hidupnya hanya karena dia telah menikahinya, Pernikahan yang dulu
disangkanya akan dapat memberikan perlindungan bagi kebebasannya justru sangkar
yang telah menjeratnya demi nama aturan dan cinta. Untuk apa lembaga pernikahan
itu?
“Siapakah yang salah?”, batin Mahesa mendesah. Lantas
melirik Di yang saat ini tengah asyik menyalakan rokok, menyedot, dan
menghembuskan asapnya tanpa arah. Betapa enaknya hidup bila dapat menghembuskan
asap rokok seperti menghembuskan masalah.
Dulu sebelum lelaki itu menikahinya, Mahesa sudah
mengajukan beberapa persyaratan. Lelaki itu sepakat akan mematuhi aturan. Orang
tuanya pun tidak banyak melawan. Tapi kini semuanya seperti khayalan.
Di luar angin tak bersuara. Ia seperti bergerak
mengendap, berjingkat hendak meninggalkan malam yang meraja. Mahesa bangkit dan
menutup jendela. Jam menunjukkan angka dua. Di masih setia duduk bersama
kepulan asap rokok dan tetap terjaga. Ya, Di, perempuan cerdas yang sejak SMA
dulu sudah dikaguminya.
“Apakah selama ini aku telah salah memaknai hidup, Di?
Benar dan salah dimanakah batasnya? Betapa ruwetnya hidup ini bila harus selalu
dibatasi dengan benar dan salah. Astaga! Sialan betul hidup kalau begitu.”
Dari dulu sebenarnya Mahesa tidak pernah berniat untuk
menikah. Baginya menikah sama saja dengan menyerahkan kebebasannya pada aturan
yang tidak rasional, diskriminatif, dan setumpuk musibah. Dia tidak percaya
bahwa pernikahan sebagai satu-satunya cara menjalani kehidupan untuk meraih
berkah. Namun begitulah, dia juga tidak percaya kenapa kemudian dirinya harus
menikah.
Semuanya seperti begitu saja berlangsung. Begitu cepat, begitu tak
terkendali sampai membuatnya bingung. Sampai tiba-tiba dia mendapati dirinya
sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk pada sejumlah aturan. Harus bangun
pagi-pagi, menyiapkan sarapan untuk suami, meracik kopi, mencuci, belanja ke
pasar, tawar-menawar dengan penjual sayuran, menyapu halaman, mengepel lantai,
menyiram tanaman, bila malam melayani suami di ranjang, serta
wejangan-wejangan?
“Perempuan itu harus pintar masak. Harus pandai
dandan, menjaga badan. Tidak boleh bangun kesiangan, tidak boleh urakan, tidak
boleh melawan, tidak boleh…”
Mahesa menghempaskan tubuhnya ke ranjang, memandang
langit-langit. Di sana ia seakan mencari jalan hidup mana yang harus
ditempuhnya sedikit demi sedikit. Tapi semuanya gelap dan sukar dikuntit. Ia
bangkit. Malam kian melantunkan kesunyian yang semu. Suara katak yang berirama
di luar terdengar sangat merdu bagai datang masa lalu. Merdu namun menggiris
pilu.
Dua malam lalu, ia lihat suaminya berkhianat. Suaminya
bilang seminggu ini ia akan pulang larut karena rapat. Awalnya dia percaya,
namun apa yang yang dikatakan teman suaminya membuyarkan semua dengan singkat. Sampai
akhirnya, bersama Di, Mahesa menguntit suaminya hingga berhenti di sebuah rumah
mewah dua tingkat. Di sana suaminya sedang asyik bermaksiat dengan seorang
wanita bejat. Mahesa tidak menangis, hanya menatap wajah suaminya dengan jijik
lantas mengumpat, “Dasar laknat!”
“Di, akhirnya siapa yang salah? Aku yang mencoba setia
pada lelaki itu atau dia yang sudah menggadaikan kepercayaan, kesetiaan, bahkan
kebebasanku?”
Di perlahan mendekati Mahesa kemudian membelai
rambutnya lantas mengecup dahi Mahesa.
“Sayangku, masalahnya bukan kamu atau dia yang
bersalah.”
“Lalu siapa?”, Mahesa tercekat.
“Sudah kubilang dari dulu, jangan pernah percaya pada
lelaki dan juga Tuhan. Hidup memang penuh jebakan. Tidakkah kamu merasa begitu?
Siapa menurutmu yang telah memasang jebakan-jebakan itu?”
Sambil menatap mata Mahesa, Di melanjutkan
lagi,”Kepada Dia yang telah memberikan takdir padamu bahwa kamu harus jatuh
cinta pada lelaki. Bukan pada jenis sesamamu. Percayalah Mahesa, masalahnya
Tuhan-lah yang salah memberikan takdir.”
“Maksudmu?”
“Aku mencintai sahabat sebangkuku sejak SMA.”
Mahesa mengulum senyum. Ia bahagia karena setidaknya,
kini setelah ia lepas dari suaminya, Mahesa tahu kalau cintanya untuk Di tidak
akan membuatnya menjadi pungguk merindukan bulan tetapi seperti buah delima
yang ranum.
Purwokerto, 13 Oktober 2011
Keren.. ceritanya
BalasHapus